DAERAHOPINITANJUNGPINANG

Kenaikan Tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Rasa Keadilan yang Terkikis

Spread the love
Kompleks Parlemen RI yang digunakan sebagai tempat persidangan utama DPR, MPR, DPD RI. f/ist

Oleh: Nur Arsinta Mahasiswi Administrasi Publik Semester 3 STISIPOL RAJA HAJI Tanjungpinang

Tanjungpinang, (gardatvnews) – Dalam kehidupan berdemokrasi, kita meyakini bahwa setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, suku, maupun agama, memiliki hak yang setara dalam menentukan arah dan masa depan bangsa. Sistem demokrasi memberi ruang bagi partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, salah satunya melalui pemilihan umum (pemilu) yang diadakan secara berkala. Dalam proses ini, kita memberikan suara kepada calon-calon wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan harapan besar bahwa mereka benar-benar akan menjadi representasi dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas. Kita menaruh kepercayaan bahwa mereka akan memperjuangkan kepentingan bersama, bukan semata-mata mengejar kepentingan pribadi, kelompok tertentu, atau golongan yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Harapan tersebut tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa negara ini didirikan atas dasar nilai-nilai luhur seperti keadilan sosial, kesetaraan hak, partisipasi, serta kepedulian terhadap sesama warga negara.

Namun, bagaimana jadinya apabila harapan itu secara perlahan mulai memudar dan meredup, digantikan oleh kekecewaan yang terus tumbuh dari waktu ke waktu? Bagaimana jika para wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat justru semakin jauh dari rakyat yang telah memilih mereka? Ketika janji-janji kampanye tinggal kenangan, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak lagi mencerminkan kepentingan publik, maka kepercayaan terhadap demokrasi pun bisa terkikis. Jika wakil rakyat tidak lagi turun ke lapangan, enggan mendengar keluhan masyarakat, atau malah terjerat dalam berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, maka rakyat pun bisa merasa diabaikan dan dikhianati. Dalam kondisi seperti itu, demokrasi yang ideal bukan hanya terancam, tapi juga bisa kehilangan makna sejatinya.

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia ramai memperbincangkan soal kenaikan tunjangan dan berbagai fasilitas mewah yang diterima oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berita ini dengan cepat menyebar di media sosial dan memicu perdebatan di berbagai kalangan. Bukan hanya karena besarnya angka tunjangan yang disebut-sebut mencapai ratusan juta rupiah per anggota, tetapi juga karena waktunya yang dinilai sangat tidak tepat. Kenaikan ini terjadi di tengah kondisi masyarakat yang sedang berjuang menghadapi tekanan ekonomi, naiknya harga kebutuhan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, hingga terbatasnya akses terhadap layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Tak sedikit masyarakat yang merasa kecewa dan marah. Kekecewaan itu bukan tanpa alasan. Mereka melihat bagaimana kehidupan sehari-hari semakin sulit, Di satu sisi, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menikmati tunjangan reses, biaya operasional, dana untuk perjalanan, dan berbagai fasilitas lain. Di sisi lain, rakyat masih banyak yang kesulitan mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan murah, pengobatan yang terjangkau, atau bahkan pekerjaan yang layak. Rasa ketidakadilan pun muncul. Seolah ada dua dunia yang berjalan beriringan namun tak pernah bersentuhan, satu dunia rakyat biasa yang penuh perjuangan untuk bertahan hidup, dan satu nya dunia elit politik yang nyaman dengan berbagai fasilitas mewah dan tunjangan yang sangat besar.

Kenaikan tunjangan ini bukan hanya soal angka atau nominal uang. Lebih dari itu, isu ini menyentuh persoalan mendasar dalam demokrasi soal rasa keadilan, soal rasa kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan, dan soal bagaimana kekuasaan dijalankan dalam sistem pemerintahan. Ketika rakyat merasa bahwa wakil yang mereka pilih tidak lagi benar-benar mewakili kepentingan mereka, maka yang dipertaruhkan bukan hanya citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri. Keadaan ini juga menunjukkan adanya jarak yang semakin lebar antara penguasa dan rakyat. Wakil rakyat yang seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat justru semakin sulit dijangkau, baik secara fisik maupun secara emosional. Banyak warga merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar, bahwa keluhan mereka tidak lagi penting, dan bahwa keputusan-keputusan besar yang diambil di gedung parlemen sering kali tidak berpihak kepada mereka. Dalam situasi seperti ini, wajar jika muncul pertanyaan “Apakah wakil rakyat masih benar-benar menjadi wakil kita?”

Bagi masyarakat, ini bukan hanya soal gaji atau bonus yang besar. Tapi ini soal kepekaan sosial. Di saat rakyat sedang susah, para pemimpinnya justru terlihat menuntut lebih banyak. Bahkan dalam beberapa laporan, tidak sedikit anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang jarang turun ke daerah pemilihannya, tidak transparan dalam menyampaikan laporan kerja, dan terlihat lebih aktif saat menjelang pemilu saja. Inilah yang membuat masyarakat merasa kecewa. Mereka bertanya-tanya, apakah negara ini benar-benar dijalankan untuk kepentingan semua orang, atau hanya untuk sekelompok orang elit? Ketika keadilan sosial bukan menjadi fondasi dasar bagi warga negara, tapi hanya menjadi slogan, dan perilaku wakil rakyat menunjukkan ketimpangan, maka rasa percaya masyarakat terhadap institusi negara pun perlahan terkikis.

Kondisi ini juga menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin besar antara 2 bagian  kehidupan, yaitu pejabat publik dan kehidupan rakyat biasa. Di dalam media sosial, sering beredar foto-foto anggota dewan yang sedang menikmati kehidupan yang mewah, makan di restoran mahal, memakai mobil dinas dengan harga miliaran rupiah, bahkan berlibur ke luar negeri saat reses. Semua itu tentu menambah kemarahan rakyat, yang setiap hari harus berjuang demi sesuap nasi.

Sementara itu, ketika publik meminta pertanggungjawaban, jawaban yang diberikan sering kali normatif. “Tunjangan itu sudah sesuai aturan”, “Fasilitas itu perlu untuk mendukung kinerja”, atau “Semua sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Tapi masalahnya bukan hanya soal legalitas, melainkan soal moralitas dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang dipertanyakan rakyat bukan apakah itu sah, tetapi apakah itu layak dan pantas, terutama di tengah kondisi negara yang belum pulih sepenuhnya dari krisis ekonomi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai lembaga legislatif, seharusnya menjadi cerminan dari suara rakyat. Tapi hari ini, tidak sedikit masyarakat yang menganggap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai simbol dari kekuasaan yang menjauh dari rakyat. Banyak survei menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menurun. Bahkan dalam berbagai obrolan sehari-hari, tak jarang masyarakat menyebut wakil rakyat sebagai “wakil diri sendiri”, bukan “wakil rakyat”.

Hal ini tentu berbahaya bagi masa depan demokrasi kita. Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika ada kepercayaan antara rakyat dan wakilnya. Ketika kepercayaan itu rusak, maka partisipasi masyarakat juga ikut menurun. Masyarakat bisa menjadi apatis, tidak peduli pada pemilu, bahkan menganggap semua politisi sama saja: hanya datang saat butuh suara.

Padahal, di balik semua itu, kita juga melihat tidak semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa disamaratakan. Pasti masih ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan tugas dengan baik. Mereka aktif menyerap aspirasi, rajin turun ke lapangan, transparan dalam penggunaan anggaran, dan benar-benar memperjuangkan kepentingan konstituennya. Namun sayangnya, kerja keras segelintir orang itu sering tertutupi oleh berita tentang keistimewaan, berita tentang kemewahan, penyalahgunaan wewenang, kasus-kasus korupsi di lembaga legislatif, dan perilaku yang tidak mencerminkan semangat pengabdian. Akibatnya, citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara keseluruhan menjadi negatif di mata publik.

Dalam opini ini, saya akan mencoba membahas lebih dalam mengenai mengapa kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi isu yang sensitif dan memicu kemarahan publik. Kita akan melihat bagaimana hal ini mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem politik kita, dan apa saja dampaknya jika tidak segera ditangani. Selain itu, akan dibahas pula solusi dan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki situasi, baik dari sisi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, maupun masyarakat sendiri.

Pertama-tama, kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  menjadi isu yang sensitif karena terjadi dalam konteks ketimpangan sosial dan ekonomi yang tinggi. Banyak rakyat yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Di sisi lain, wakil rakyat justru mengusulkan kenaikan tunjangan dengan alasan kebutuhan operasional, padahal kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  sendiri kerap menuai kritik, mulai dari tingkat kehadiran sidang yang rendah hingga minimnya kualitas legislasi. Selain itu, proses penetapan kenaikan tunjangan ini sering kali dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik, sehingga menimbulkan kesan tidak transparan dan tidak akuntabel. Dalam pandangan publik, hal ini bukan sekadar soal angka, tetapi menyangkut rasa keadilan dan kepekaan sosial dari para wakil rakyat.

Lebih dari sekadar persoalan gaji atau tunjangan, fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam sistem politik kita. Salah satu masalah utamanya adalah lemahnya mekanisme checks and balances dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan pribadi anggota legislatif. Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dapat menetapkan sendiri besaran tunjangannya tanpa pengawasan ketat, ini menunjukkan adanya moral hazard dalam penggunaan kekuasaan. Di sisi lain, krisis akuntabilitas dan representasi juga semakin nyata. Rakyat merasa tidak lagi benar-benar diwakili, melainkan hanya dijadikan alat legitimasi oleh segelintir elit politik. Jarak antara wakil rakyat dan konstituennya semakin lebar, menimbulkan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka dampaknya bisa sangat serius bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama,  menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan sistem demokrasi secara keseluruhan. Selain itu, kebiasaan menaikkan tunjangan secara sepihak bisa menjadi kebiasaan buruk yang terus berulang dan merusak etika dalam tata kelola pemerintahan dan memperbesar jurang antara elit politik dan rakyat,bahkan bisa menciptakan ketidakstabilan politik dalam jangka panjang.

Kedua, partisipasi publik dalam demokrasi akan terus menurun. Orang-orang mulai enggan ikut pemilu, malas ikut diskusi publik, dan tidak mau tahu soal politik karena sudah terlanjur kecewa. Akibatnya, ruang pengawasan terhadap pemerintah makin lemah, dan kekuasaan bisa berjalan lancar tanpa kontrol rakyat.

Ketiga, munculnya gerakan-gerakan populis atau ekstrem yang ingin “menggulingkan sistem” sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap korup dan tidak adil, karena merasa saluran politik formal tidak lagi bisa dipercaya. Ini bisa menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi pembangunan nasional dan kehidupan bernegara secara sehat.

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan langkah konkret, bukan hanya janji. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem tunjangan dan fasilitas yang mereka terima. Apakah memang semua itu dibutuhkan? Apakah besarannya sesuai dengan kondisi rakyat saat ini? Apakah penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan? Jika memang tunjangan diperlukan untuk menunjang kinerja, maka harus ada sistem pelaporan yang transparan dan bisa diakses publik. Masyarakat harus tahu kemana saja wakilnya pergi saat reses, apa saja yang dikerjakan, dan hasil apa yang dibawa pulang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jangan sampai uang rakyat dipakai untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat.

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus memperbaiki komunikasi dengan publik. Jangan hanya muncul di media saat kenaikan tunjangan atau saat kontroversi terjadi. Mulailah hadir lebih sering di ruang-ruang publik seperti dengarkan rakyat, buka ruang diskusi, dan jelaskan kebijakan yang diambil dengan bahasa yang mudah dipahami. Dengan begitu, kepercayaan yang sempat hilang bisa perlahan kembali dibangun.

Pemerintah pun punya peran. Kementerian keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau lembaga-lembaga pengawas lainnya harus memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara bijak dan adil. Jangan ada kesan bahwa yang duduk di pemerintahan hidup nyaman, sementara rakyat yang membayar pajak harus menahan lapar. Semua harus sadar bahwa dalam negara demokrasi, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan raja yang duduk di menara gading. Dan tentu saja, masyarakat juga punya tanggung jawab. Kita tidak bisa hanya mengeluh di media sosial, tapi diam saat pemilu datang. Kita harus lebih cerdas dalam memilih, lebih berani menyuarakan pendapat, dan lebih aktif mengawasi kinerja para wakil rakyat. Demokrasi yang kuat hanya bisa tercipta jika rakyatnya juga aktif dan sadar akan hak serta tanggung jawabnya.

Kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan sekadar masalah keuangan negara saja, tapi soal rasa keadilan yang selama ini kita jaga bersama. Ketika rakyat merasa ditinggalkan, sementara para pemimpinnya sibuk memperkaya diri, maka akan lahir ketidakpercayaan, kemarahan, dan akhirnya, jarak yang makin sulit dijembatani. Tapi semua belum terlambat. Kita masih bisa memperbaiki situasi ini jika semua pihak mau membuka mata dan hati. Para wakil rakyat harus kembali menyadari bahwa jabatan mereka adalah amanah, bukan fasilitas. Pemerintah harus memastikan anggaran negara digunakan secara adil dan tepat sasaran. Dan rakyat harus terus menyuarakan aspirasi, mengawasi, dan terlibat aktif dalam kehidupan politik.

Demokrasi bukanlah semata-mata soal datang ke tempat pemungutan suara setiap lima tahun sekali untuk mencoblos calon pemimpin atau wakil rakyat. Demokrasi sejatinya jauh lebih dalam dan luas daripada sekadar rutinitas elektoral. Ia adalah proses yang terus berlangsung, yang menuntut partisipasi aktif, kesadaran kolektif, dan tanggung jawab bersama antara rakyat dan para pemimpinnya. Demokrasi adalah ruang hidup bersama, di mana setiap individu memiliki peran dalam membentuk kebijakan, menyuarakan aspirasi, mengawasi jalannya pemerintahan, serta memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara transparan, adil, dan berpihak pada kepentingan umum.

Jika kita benar-benar ingin melihat negara ini maju, sejahtera, dan adil bagi seluruh warganya, maka sudah saatnya semua pihak baik rakyat biasa, pejabat publik, pemimpin pemerintahan, maupun institusi negara kembali merenungkan dan menghayati tujuan awal dari demokrasi itu sendiri. Sudah saatnya kita bersatu, bergerak bersama untuk mewujudkan pemerintahan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bukan melayani diri sendiri, bukan mencari keuntungan pribadi, bukan pula mempertahankan kekuasaan semata. Demokrasi sejati mengandaikan hadirnya pemimpin yang rendah hati dan terbuka terhadap kritik, serta rakyat yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Dengan demikian, kemajuan bangsa tidak akan bergantung hanya pada siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi pada seberapa besar sinergi yang dibangun antara rakyat dan pemimpinnya dalam mewujudkan cita-cita bersama. Demokrasi yang sehat tumbuh dari keterlibatan semua elemen masyarakat, dari ruang-ruang diskusi terbuka, dari transparansi, dan dari keberanian untuk saling mengoreksi demi kebaikan bersama.(na)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *