TANJUNGPINANG

“Ketika Harapan Diuji di Atas Perut Lapar” – Kisah Haru Panti Asuhan Nur Arrohman, Kilometer 14 Tanjung Uban

Spread the love

Tanjungpinang Kepri — Gardatvnews.com Untung tak selalu dapat diraih, malang pun tak bisa ditolak. Hidup berjalan sesuai kehendak-Nya, meski kadang jalannya tak pernah mudah dimengerti. Seperti pagi-pagi sunyi di kilometer 14 arah Tanjung Uban, tempat berdirinya Panti Asuhan Nur Arrohman—rumah bagi anak-anak yang ditinggalkan waktu, namun tak pernah meninggalkan harapan, pada hari Juma’at (20/6/2025)

Di balik dinding sederhana dan lantai yang dingin, puluhan anak menganyam mimpi di atas selembar tikar usang. Mereka bukan anak-anak biasa. Mereka adalah pejuang kecil yang telah akrab dengan kehilangan, kesepian, dan lapar. Lapar bukan hanya karena perut tak terisi, tapi juga karena rindu akan pelukan, kasih sayang, dan perhatian dunia luar.

Tak jarang, panci di dapur tetap tertutup sepanjang hari. Bukan karena tak ada yang mau memasak, tapi karena memang tak ada yang bisa dimasak. Beras yang biasanya menjadi harapan utama kadang tinggal kenangan. Sementara wajah-wajah mungil itu tetap menatap dengan sabar, seolah mengerti bahwa tak semua hari membawa makanan.

“Kadang anak-anak bertanya, ‘Pak, hari ini kita makan apa?’ Saya hanya tersenyum, padahal di dalam hati saya menangis. Mau masak nasi, tapi beras tak ada. Uang pun tiada,” tutur Muhammad Ramli, pimpinan Panti Asuhan Nur Arrohman, dengan mata berkaca-kaca.

Meski air matanya menetes, senyumnya tetap ia tahan di depan anak-anak. Ia adalah ibu/bapak bagi mereka semua. Ia tahu, takdir memang tak bisa diubah, tapi cinta dan keikhlasan bisa membuat beban terasa lebih ringan.

Dan di tengah ujian yang nyaris tak berkesudahan itu, Allah menggerakkan hati-hati yang peduli.

Pada Kamis pagi, 20 Juni 2025, Ketua Perkumpulan Pedagang Kecil Tepi Laut, A. Ridwan, bersama beberapa anggota, hadir secara langsung ke panti. Mereka datang tak membawa kemewahan, tapi menghadirkan kehangatan. Sebungkus beras, beberapa liter minyak, telur, dan kebutuhan pokok lainnya mereka serahkan dengan penuh kasih.

“Saya Ketua Perkumpulan pedagang kecil Tepi Laut tahu rasanya kekurangan. Tapi kami juga tahu rasanya ketika dibantu. Itulah yang mendorong kami untuk hadir di sini, memberikan apa yang kami bisa, walau sedikit. Karena kami yakin, satu genggam kebaikan bisa menyelamatkan satu kehidupan,” ujar A. Ridwan, saat menyerahkan bantuan.

Bantuan itu disambut haru. Anak-anak tersenyum, beberapa bersorak kecil. Seolah tak kuasa menahan hari.

“Saya tak tahu harus berkata apa. Tapi saya percaya, Allah mengirim mereka ke sini hari ini. Bantuan ini bukan sekadar beras, ini adalah bukti bahwa kami tidak sendiri,” ucapnya sambil memeluk satu per satu anak yang berkumpul mengelilingi.

Di tengah keterbatasan, perhatian seperti inilah yang menjadi lentera. Sebab bagi anak-anak panti, bantuan yang datang bukan hanya soal makanan, tapi juga soal harapan bahwa dunia ini masih menyimpan banyak orang baik. Orang-orang yang peduli, walau mereka sendiri juga tak hidup dalam kelimpahan.

Kisah ini adalah pengingat bagi kita semua. Bahwa ada kehidupan yang masih bertahan di ujung kesederhanaan. Dan mereka tak meminta banyak. Hanya perhatian, hanya secuil empati, hanya sedikit dari yang kita punya—yang mungkin bisa menjadi segalanya bagi mereka.

Karena sejatinya, manusia tak akan pernah jatuh miskin karena memberi. Justru dari sanalah ia ditinggikan di sisi Tuhan dan dihargai dalam nurani sesama.

(A.R)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *