Seruan Transparansi Lembaga Survei dalam Penilaian Citra Penegak Hukum

Kepri — Hasil survei terbaru dari Litbang Kompas menunjukkan peningkatan citra positif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025. Ini merupakan pencapaian yang patut diapresiasi. Namun, sebagai akademisi dan praktisi hukum, saya ingin menekankan pentingnya pemahaman lebih mendalam terkait konteks, metodologi, dan parameter yang digunakan dalam survei ini. Pemahaman yang komprehensif sangat diperlukan agar hasil survei tidak hanya menjadi angka statistik, tetapi juga menjadi refleksi yang akurat terhadap kinerja lembaga penegak hukum secara keseluruhan.
Dalam diskusi mengenai citra lembaga penegak hukum, penting untuk tidak hanya berfokus pada persepsi satu institusi. Kontribusi kolektif dari semua pihak, termasuk kejaksaan, juga harus menjadi perhatian. Kejaksaan telah menunjukkan konsistensi dalam mengungkap berbagai kasus besar, memulihkan aset negara, dan menerapkan konsep keadilan restorat dan f. Oleh karena itu, transparansi lembaga survei menjadi kunci dalam memastikan data yang disampaikan kredibel, informatif, dan mendukung sinergi antar-institusi penegak hukum demi menjalankan tugas konstitusional secara optimal.
Kejaksaan: Konsisten dalam Penegakan Hukum dan Pemulihan Aset Negara
Kejaksaan, sebagai salah satu pilar utama penegakan hukum, telah mencatat berbagai keberhasilan signifikan dalam mengungkap kasus besar, memulihkan kerugian negara, dan menjaga akuntabilitas publik. Di antaranya:
1. Kasus Korupsi Jiwasraya
Dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun. Praktik manipulasi laporan keuangan dilakukan untuk menampilkan laba fiktif. Kejaksaan menetapkan 13 tersangka, termasuk direktur perusahaan, dan menyita aset berupa properti, kendaraan mewah, serta uang tunai guna menutupi kerugian negara.
2. Kasus Korupsi Asabri
Kasus serupa terjadi di PT Asabri dengan kerugian negara mencapai Rp22,7 triliun. Kejaksaan menetapkan beberapa tersangka, termasuk petinggi perusahaan dan mitra bisnis, serta menyita barang bukti berupa tanah, bangunan, saham, dan kendaraan mewah.
3. Kasus BTS 4G
Dalam pengadaan BTS 4G oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, kerugian negara diperkirakan sebesar Rp8 triliun. Kejaksaan menetapkan beberapa tersangka, termasuk pejabat kementerian dan pihak swasta, serta melakukan penyitaan aset untuk memulihkan kerugian negara.
4. Kasus Korupsi Minyak Goreng
Pelanggaran dalam distribusi minyak goreng mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga, dengan kerugian negara sekitar Rp1,2 triliun. Beberapa pejabat dan pengusaha ditetapkan sebagai tersangka, dan aset pelaku disita untuk mengembalikan kerugian negara.
5. Korupsi Tata Niaga Timah
Kejahatan dalam tata niaga timah menyebabkan kerugian negara hingga Rp271 triliun. Lima tersangka, termasuk pejabat tinggi, ditetapkan dalam kasus ini. Kejaksaan menelusuri aset di dalam dan luar negeri untuk pemulihan kerugian negara.
Kejaksaan Sebagai Pelopor Keadilan Restoratif
Kejaksaan juga memimpin penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, penanganan perkara pidana kini memungkinkan penyelesaian melalui pendekatan yang lebih humanis. Pendekatan ini dilakukan untuk kasus tertentu, seperti pelanggaran ringan, kasus pertama kali, dan tidak berdampak luas, dengan tujuan memulihkan hubungan sosial, mengurangi beban lembaga pemasyarakatan, serta menciptakan keadilan yang substantif.
Contoh nyata penerapan keadilan restoratif meliputi:
Kasus Pencurian Ringan oleh Petani atau Anak
Mediasi antara pelaku dan korban dilakukan, dengan syarat pelaku mengganti kerugian tanpa harus menjalani hukuman penjara.
Langkah ini sejalan dengan teori hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, yang menekankan bahwa hukum harus melayani manusia dan mengedepankan keadilan substantif. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang kaya akan nilai musyawarah dan gotong royong, pendekatan restoratif ini relevan dan memberikan solusi yang lebih berkeadilan.
Transparansi Lembaga Survei: Pilar Utama Kredibilitas
Dalam penyampaian hasil survei, transparansi metodologi menjadi krusial. Beberapa langkah penting yang perlu diperhatikan adalah:
1. Kredibilitas Metodologi
Survei harus menjelaskan parameter, metode pengumpulan data, serta cakupan responden secara rinci agar hasil dapat diverifikasi.
2. Edukasi Publik
Survei yang transparan membantu meningkatkan literasi masyarakat tentang proses hukum dan kinerja institusi penegak hukum.
3. Mencegah Manipulasi Persepsi Publik
Tanpa transparansi, hasil survei berisiko menjadi alat framing yang bias. Dengan keterbukaan, survei dapat menjadi alat evaluasi objektif untuk meningkatkan kualitas lembaga hukum.
Menghindari Kompetisi yang Tidak Produktif Antar-Institusi
Lembaga survei juga harus berhati-hati agar tidak memperuncing perbandingan antara KPK dan kejaksaan. Kedua lembaga ini memiliki peran yang berbeda tetapi saling melengkapi dalam penegakan hukum. Sinergi dan kolaborasi antara keduanya diperlukan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih kuat dan terpercaya.
Melalui langkah-langkah ini, transparansi lembaga survei dapat berkontribusi pada penguatan sistem hukum di Indonesia, menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. (Anwar)
Sumber : Yusnar Yusuf, S.H., M.H, Kasi Penkum, Kejati Kepri